Kontribusi Ekowisata sebagai Bentuk Kegiatan Wisata yang Lestari dalam Kawasan Konservasi di Indonesia

Image

Oleh : M. Asyief Kh. Budiman
2011
makalah sebagai tugas mata kuliah manajemen kawasan konservasi

departemen konservasi sumberdaya hutan dan ekowisata
fakultas kehutana – IPB

Program S-1 Mayor Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata angk 46 (2009)

Wisata pada kawasan konservasi akhir-akhir ini menjadi trend masyarakat global (Coper et al. 1998 dalam Sagala et al. 2008). Kawasan-kawasan dilindungi atau kawasan konservasi mulai dikunjungi oleh banyak wisataawan mancanegara (Basuni 2001). Wisatawan mancanegara ini berpotensi untuk dijadikan salah satu sumber devisa bagi negara karena mereka memiliki nilai demand (kemauan membayar barang atau jasa pada wisata) yang tinggi. Oleh karena itu, pengembangan wisata pada kawasan konservasi dirasakan mulai perlu diperhatikan.

Wisata sebenarnya dapat menjadi suatu bentuk pemanfaatan sumber daya alam hayati dan ekosistem dalam suatu kawasan konservasi. Namun, dalam prinsip konservasi, pemanfaatan diperbolehkan apabila dilakukan dengan bertanggung jawab dengan menjamin ketersediannya secara lestari serta menjaga kualitas dan kuantitasnya (UU No 5 Tahun 1990). Oleh karena itu diperlukan suatu bentuk wisata yang bijaksana dalam upaya pemanfaatan potensi kawasan konservasi secara lestari.

Suatu model wisata khusus telah dikembangkan untuk menghadapi permintaan pasar terhadap keinginan berwisata ke kawasan-kawasan konservasi (Basuni 2001). Dari sinilah awal konsep ekowisata muncul. Konsep terebut sampai saat ini menjadi bentuk pemanfaatan wisata yang paling baik. Ekowisata merupakan wisata yang paling sesuai pada kawasan konservasi. Ekowisata juga memberikan kontribusi yang besar terhadap upaya konservasi aktif dalam kawasan konservasi.

Ekowisata merupakan konsep yang relatif baru (Basuni 2001, Drumm dan Moore 2005). Istilah ekowisata juga tidak ditemukan dalam kamus-kamus standar. Konsep ekowisata muncul pertama kali pada awal 1965, wisata yang bertanggung jawab memiliki 4 prisnsip yaitu: menghormati budaya lokal, memaksimalkan keuntungan masyarakat lokal, meminimalkan dampak terhadap lingkungan, dan memaksimalkan kepuasan pengunjung (Hetzer 1965 dalam Lowmann dan Rinker 2004). Namun ekowisata sering salah dimengerti dan diterapkan.

Banyak yang telah menyalahgunakan istilah ekowisata untuk menarik perhatian pelancong yang sadar akan konservasi (Drumm dan Moore 2005). Namun, pada kenyataannya, hanya wisata alam sederhana yang dapat menyebabkan dampak negatif sosial-ekologis. Definisi yang pertama kali diterima secara global ditetapkan oleh The International Ecotourism Society (1990):

“Perjalanan yang bertanggung jawab ke tempat-tempat alami

dengan melakukan konservasi lingkungan

dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal”

Basuni (2001), menjelaskan berbagai istilah yang digunakan dalam menjelaskan secara produk-produk ekowisata seperti: ecological  tourism,  nature  tourism,  wilderness tourism,  environmental tourism,  “nature-oriented” tourism, environmental  education,  low-impact  tourism,  adventure travel,  cultural tourism,  environmental conservation,  green tourism,  soft adventure tourism,  ethnic tourism,  sustainable tourism,  Socially  responsible  tourism,  ecoventures, responsible travel. Pada intinya ekowisata merupakan konsep khusus kegiatan wisata dalam perspektif konservasi sumberdaya hayati dan eksistemnya. Pemanfaatan sumber daya alam untuk kegiatan ekowisata di kawasan konservasi merpakan bagian terintegrasi dari pembangunan di bidang sumber daya alam (Muntasib dan Mulyadi 1997).

Ekowisata dan Manajemen Kawasan Konservasi

Potensi ekowisata sebagai sumber devisa negara seringkali direspon secara berlebihan dan terburu-buru oleh pemerintah negara berkembang (Basuni 2001). Di Indonesia sendir, porsi anggaran Ditjen PKA tahun 1999/2000 untuk biaya pemanfaatan adalah yang paling kecil (Yanis 2000, tidak diterbitkan, dalam Basuni 2001). Padahal, manajemen kawasan yang tepat sangat diperlukan dalam upaya penerapan ekowisata dalam kawasan. Hawkins (2004) menyebutkan bahwa konsep manajemen yang dapat digunakan adalah konsep klaster, yaitu konsep manajemen ekowisata yang bekerja sama dengan manajemen tempat tujuan ekowisata (kawasan konservsai).

Menurut Eagles et al. (2002), rencana manajemen kawasan merupakan sarana dalam menentukan dan mendaftar kebijakan-kebijakan kawasan, termasuk didalamnya terdapat berbagai macam kategori, salah satunya adalah bagaimana manajemen wisata dalam kawasan. Dengan manajemen yang tepat akan diperoleh berbagai keuntungan dari kontribusi ekowisata terhadap kawasan.

Kontribusi Ekowisata terhadap Konservasi Aktif dalam Kawasan Konservasi

Pandangan mengenai konservasi dan kawasan konservasi sedikit demi sedikit telah berubah. Pada mulanya konservasi hanya sebatas pengawetan dan perlindungan, dengan konsep kawasan dilindungi (strict protected area) yang melarang segala macam pemanfaatan demi kepentingan perlindunga. Namun pendekatan konservsai yang tradisional tersebut mulai berubah. Kini, upaya konservasi mulai diombinasikan dengan pengembangan ekonomi, menjadingan cara pandang konservasi kuno tidak lagi berlaku, dan diperlukan cara-cara baru untuk mencapai tujuan tersebut (Brandon et al. 1998 dalam Drumm dan Moore 2005). Konservasi aktif merupakan upaya konservasi melalui tiga pilar pokok konservasi, yaitu perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekargaman genetic, dan pemanfaatan yang lestari sumber daya alam dan ekosistemnya; bukan lagi konservasi pasif yang hanya sebatas perlindungan.

Beragam kondisi yang ada pada berbagai bidang saat ini telah membawa suatu motivasi pada suatu minat baru, ekowisata. Dalam perspektif konservasi, pengelola kawasan konservasi berada di tengah-tengah proses perumusan strategi-strategi konservasi. Pengelolaan kolaboratif mulai dibangun dalam menanggapi minat ekowisata masyarakt  global. Hal ini bertujuan untuk memperoleh keuntungan dari adanya kegiatan ekowisata di kawasan konservasi. Kontribusi ekowisata. Kontribusi ekowisata terhadap konservasi aktif dalam kawasan adalah menyediakan insentif bagi konservasi melalui terciptanya peluang pendanaan bagi kegiatan konservasi (Drumm dan Moore 2005, Spancceley 2008, Kiss 2004).

Ekowisata sebagai Sumber Dana bagi Kegiatan Konservasi Kawasan

Sampai saat ini pendanaan utama bagi biaya operasional kegiatan konservasi di dalam kawasan konservasi berasal dari pemerintah melalui anggaran Ditjen PHKA (Basuni 2001). Sebenarnya ekowisata dapat menjadi sumber pendanaan tambahan bagi biaya operasional konservasi dalam kawasan konservasi. beberapa macam mekanismenya yakni a) insentif bagi konservasi, b) pengajuan proposal, c) penjualan kuota wisata baru.

Perubahan Perilaku Masyarakat Lokal

Seluruh literatur mengenai kontribusi ekowisata terhadap konservasi menyebutkan bahwa kegiatan ekowisata dapat meningkatakan kesejahteraan masyarakat lokal. Pernyataan tersebut benar apa adanya. Namun dampak positif ini juga dapat membaawa dampak positif lain secara tidak langsung terhadap konservasi aktif dalam kawasan. Kiss (2004), menyebutkan bahwa dengan semakin besarnya keuntungan yang diperoleh masyarakat lokal dari adanya ekowisata, maka mereka akan berupaya untuk menjaga keanekaragaman dalam kawasan konservasi tersebut, untuk menjaga keuntungan dari kegiatan ekowisata.

Munculnya perilaku ini dijelaskan oleh Rachmawati (2007), bahwa calon wisatawan hanya tertarik pada kawasan konservasi yang memiliki reputasi baik. Sehingga, secara tidak langsung kegiatan ekowisata dapat merubah perilaku masyarakat menjadi perilaku yang konservatif.

DAFTAR PUSTAKA

Basuni S. 2001. Ekoturisme, Manajemen Konservasi dan Otonomi Daerah. Media Konservasi VIII (2): 47–53.

Drumm A, Moore A. 2005. Ecotourism Development. A Manual for Conseervatio Planners and Managers, Vol I: An Introduction to Ecotourism Planning. Arlingtong, Virginia: The Nature Conservancy.

Eagles PFJ, McCool SF, Haynes CD. 2002. Sustainable Tourism in Protected Areas, Guideline for Planning and Management. Cambridge: IUCN Publications Services Unit.

Hawkins DE. 2004. Catalysing Biodiversity Conservation and Economic Growth in Bulgaria. Journal of Sustainable Tourism 12 (3): 219–244.

Kiss A. 2004. Is Community-based Ecotourism a Good Use of Biodiversity Conservation Funds? RENDS in Ecology and Evolution 19 (5): 232–237.

Lowmann MD, Rinker HB. 2004. Forest Canopies. Burlington: Elsevier Academic Press.

Muntasib EKSH, Mulyadi K. 1997. Manajemen Wisata Alam dan Kelestarian Badak Jawa di Taman Nasional Ujung Kulon. Media Konservasi edisi khusus: 85-86.

Sagala LP, Muntasib EKSH, Bambang N. 2008. Permintaan Ekowisata Wisatawan Mancanegara di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS), Jawa timur. Media Konservasi 13 (2): 79–84.

Spanceley A. 2008. Seminar on Ecotourism and Protected Areas in Africa: Contributing to community development and conservation. UNWTO Seminar on Ecotourism and Protected Areas, 5-7 November 2008, Maputo, Mozambique. United Nation World Tourism Organization.

Widodo HW. 2006. Pemerlakuan Dana Bantuan Konservasi Taman Nasional Pulau Komodo. PT. Putri Naga Komodo.

Categories: Articles, Uncategorized | Leave a comment

Post navigation

Leave a comment

Blog at WordPress.com.

from swerve of shore

by aaron joel santos

Stories from home

Photography, family and friends (+ Oliver the dog!)

Day by Day the Farm Girl Way...

Simple life on a little piece of land.

Beetles In The Bush

Experiences and reflections of a Missouri entomologist

Meanwhile, back at the ranch...

music, poetry, musings, photography and philosophy from a woman who found her way back home and wants you to come over for a hike and a cocktail.

WordPress.com News

The latest news on WordPress.com and the WordPress community.